Digital dan Logika

Dunia Digital dan Logika yang Terbalik
Harap tunggu0 detik...
Gulir ke bawah dan klik Buka Tautan untuk tujuan
Selamat! Tautan Dihasilkan


Dunia digital hari ini benar-benar sedang mengalami pembalikan logika. Nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi kini terasa kabur, tergantikan oleh kebutuhan untuk terlihat, disukai, dan diakui. Dulu, orang malu jika ketahuan membaca majalah dewasa  itu dianggap aib, sesuatu yang dilakukan diam-diam. Tapi kini, ironi itu berubah: banyak yang justru berusaha keras untuk tampil di halaman depan, menjadi wajah utama dari budaya visual yang makin kehilangan rasa malu.

Privasi, yang dulu menjadi sesuatu yang berharga, kini seolah menjadi barang mewah. Banyak orang memilih menukarnya dengan likes, komentar, dan jumlah followers. Semua demi secuil validasi digital yang sifatnya fana. Yang dulu kita sembunyikan, kini justru dipamerkan; yang dulu dijaga, kini dibuka lebar-lebar untuk dunia. Tidak sedikit yang mengukur kebahagiaan dari jumlah notifikasi yang muncul, seolah eksistensi manusia bergantung pada algoritma.

Yang paling ironis adalah kontradiksi yang lahir dari tren “self-love” dan “body positivity”. Caption yang panjang tentang penerimaan diri seringkali bertolak belakang dengan cara menampilkan diri itu sendiri. Makin sedikit kain yang menutupi tubuh, makin banyak kata-kata yang dipakai untuk menjelaskan makna cinta diri. Padahal, tubuh bukan konten  ia adalah rumah, tempat tinggal jiwa, yang seharusnya dihormati, bukan diperlakukan sebagai komoditas visual.

Kenyataannya, di dunia nyata banyak orang merasa minder, tidak percaya diri, takut dinilai. Tapi begitu layar menyala, mereka berubah: percaya diri, berani, bahkan provokatif. Dunia maya menjadi ruang pelarian, tempat banyak orang bisa menjadi siapa saja  tanpa batas, tanpa rasa malu. Namun yang sering terlupa, setiap postingan yang tampak “bebas” sering kali justru menjadi tanda bahwa seseorang terikat pada keinginan untuk diperhatikan. Validasi digital menjadi candu yang cepat memuaskan tapi juga cepat menguap, seperti notifikasi yang hilang begitu saja tanpa makna.

Mungkin begitulah zaman ini bekerja. Manusia semakin transparan di dunia maya, tapi semakin misterius di dunia nyata. Kita membuka segalanya di media sosial, tapi tetap menyembunyikan layar ponsel dengan password yang tak boleh disentuh siapa pun. Ada paradoks di situ: keterbukaan yang semu dan keintiman yang palsu.

Dan mungkin, suatu hari nanti, kita akan benar-benar sadar bahwa yang perlu dikunci bukan hanya layar ponsel kita, tapi juga keinginan untuk terus diumbar. Karena perhatian publik tidak sama dengan kasih sayang, dan pengakuan digital tidak pernah bisa menggantikan ketenangan batin. Dunia digital boleh terus berkembang, tapi seharusnya kesadaran kita pun ikut bertumbuh  bahwa tidak semua hal pantas dibagikan, dan tidak semua perhatian layak dikejar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Posting Komentar

Subscribe

Kanal Media Sosial
Ikuti Kegiatan di Kanal Youtube Spasi Pagi
Oops!
Sepertinya ada yang salah dengan koneksi internet Anda. Harap sambungkan ke internet dan mulai menjelajah lagi.
AdBlock Detected!
Kami telah mendeteksi bahwa Anda menggunakan plugin pemblokiran iklan di browser Anda.
Pendapatan yang kami peroleh dari iklan digunakan untuk mengelola situs web ini, kami meminta Anda untuk memasukkan situs web kami ke dalam daftar putih di plugin pemblokiran iklan Anda.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.